Selasa, 01 Juni 2010

Bahasa dalam Peraturan Peraturan Perundang-undangan

Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum.

Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut memiliki konotasi yang cocok, lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia, mempunyai corak internasional, lebih mempermudah tercapainya kesepakatan, atau lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.

Jumat, 28 Mei 2010

TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Sejak Indonesia merdeka, ada beberapa peraturan yang mengalami tata urutan perundang-undangan, yaitu:

· Ketetapan MPR nomor XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengatur sumber tertib hukum republik Indonesia.

· Ketetapan MPR nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan.

· UU RI no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pada tahun 2004 lahir undang-undang no 10 thn 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, didalam pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut dicantumkan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Rumusan pasal 7 ayat (1) no 10 thn 2004:

1. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut

a) UUD 1945.

b) Undang-Undang/PERPU.

c) Peraturan Pemerintah.

d) Peraturan Presiden.

e) Peraturan Daerah.

2. Peraturan daerah meliputi:

a) Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur.

b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.

c) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya.

3. Ketentuan mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat diatur oleh peraturan daerah/kabupaten/kota yang bersangkutan.

4. Jenis perundang-undangan selain no 1 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

5. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirearki.

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Ditetapkannya UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia merupakan:

a) Bentuk konsekuensi dikumandangkan kemerdekaan yang menandai berdirinya suatu Negara.

b) Wujud kemandirian suatu Negara yang tertin dan teratur.

c) Mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.

UUD pada umumnya berisi hal-hal sebagai berikut:

a) Organisasi Negara.

b) HAM.

c) Prosedur mengubah UUD.

d) Memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.

e) Memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideology Negara.

UUD 1945 mempunyai kedudukan istimewa disbanding undang-undang lain karena:

a) UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dari UU biasa.

b) UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap sesuatu yang luhur.

c) UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa.

d) UUD memuat garis besar tentang dasar dan tujuan Negara.

Sejak era reformasi, UUD 1945 telah mengalami beberapa perubahan:

· Perubahan pertama tanggal 12 oktober 1999.

· Perubahan kedua tanggal 18 agustus 2000.

· Perubahan ketiga tanggal 9 november.

· Perubahan keempat tanggal 10 agustus 2002.

UNDANG-UNDANG

Lembaga yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama Presiden.

Kriteria agar suatu permasalahan diatur melalui UU antara lain:

a) UU dibentuk atas perintah ketentuan UU 1945.

b) UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu.

c) UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah, dan menambah UU yang sudah ada.

d) UU dibentuk karena berkaitan dengan HAM.

e) UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.

Prosedur pembuatan UU:

a) DPR memegang kekuasaan membentuk UU.

b) Setiap rancangan UU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

c) RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.

DPR dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan:

a) Otonomi daerah.

b) Hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.

c) Pengelolaan SDA.

d) Sumber daya ekonomi lainnya.

e)Yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

PERATURAN DAERAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG/PERPU

PERPU dibentuk oleh Presiden tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR dan dibuat dalam keadaan darurat. Setelah diberlakukan harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan.

PERATURAN PEMERINTAH

Peraturan Pemerintah dibuat untuk melaksanakan UU.

Kriteria pembentukan peraturan pemerintah:

a) Peraturan pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya. Setiap pembentukan peraturan pemerintah harus berdasarkan UU yang telah ada.

b) Peraturan pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana jika UU induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.

c) Peraturan pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya.

d) Peraturan pemerintah dapat dibentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal peraturan pemerintah tersebut untuk melaksanakan UU.

PERATURAN PRESIDEN

Peraturan presiden adalah peraturan yang dibuat oleh presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara sebagai atribut dari pasal 4 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah maupun UU atau peraturan pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.

PERATURAN DAERAH

Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten atau Kota untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah.

Bella Tifa Ardani

8F

Kamis, 27 Mei 2010

PRINSIP-PRINSIP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lembaga Administrasi Negara menyatakan, bahwa prinsip-prinsip yang mendasari pembentukan peraturan perundang-undangan adalah:
  1. Dasar yuridis(hukum) sebelumnya
  • Penyusunan peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan yuridis yang jelas, tanpa landasan yuridis yang jelas, peraturan perundang-undangan yang disusun tersebut dapat batal demi hukum.
2.hanya peraturan perundang-undangan tertentu saja yang dapat dijadikan landasan yuridis.
  • peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar yuridis adalah peraturan yang sederajat atau yang lebih tinggi.
3. peraturan perundang-undangan hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi.

4. peraturan perundang-undangan baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan lama.
  • dengan dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan baru, maka apabila telah ada peraturan perundang-undangan sejenis dan sederajat yang telah diberlakukan secara otomatis akan dinyatakan tidak berlaku. prinsip ini dalam bahasa hukum dikenal dengan istilah lex posteriori lex priori.
5. peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
  • peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih rendah kedudukannya dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka secara otomatis dinyatakan batal demi hukum.
6. peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
  • apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus dan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum yang sederajat tingkatnya, maka yang dimenangkan adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus(prinsip lex specialist lex ge-neralist).
7. setiap jenis peraturan perundang-undangan materinya berbeda.


DIENI ASFIRAHANI
8F

LANDASAN BERLAKUNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk di negara Republik Indonesia harus berlandaskan kepada:
  1. LandasanFilosofis
Nilai-nilai yang bersumber pada pandangan filosofis Pancasila yakni:
a.Nilai-nilai religius bangsa Indonesia yang terangkum dalam sila pertama Pancasila
b. Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan terangkum dalam sila kedua Pancasila.
c. Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh terangkum dalam sila ketiga Pancasila
d.Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat terangkum dalam sila keempat Pancasila
e. Nilai-nilai keadilan baik individu maupun sosial terangkum dalam sila kelima Pancasila

2. Landasan Sosiologis
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat.

3. Landasan Yuridis
Menurut Lembaga Administrasi Negara landasan yuridis dalam pembuatan perundang-undangan memuat keharusan:
a. Adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan
b. Adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan
c. Mengikuti cara-cara atau prosedur tertentu
d. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.



DIENI ASFIRAHANI(13)
8F

MENTAATI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL

Mentaati berasal dari kata dasar taat yang artinya patuh atau tunduk. Orang yang patuh atau tunduk pada peraturan adalah orang yang sadar. Seseorang dikatakan mempunyai kesadaran terhadap aturan atau hukum, apabila dia.

1. Memiliki pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum yang berlaku, baik di lingkungan masyarakat ataupun di negara Indonesia,

2. Memiliki Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum, artinya bukan hanya sekedar dia tahu ada hukum tentang pajak, tetapi dia juga mengetahui isi peraturan tentang pajak tersebut.

3. Memiliki sikap positif terhadap peraturan-peraturan hukum

4. Menunjukkan perilaku yang sesuai dengan apa yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Orang yang mempunyai kesadaran terhadap berbagai aturan hukum akan mematuhi apa yang menjadi tuntutan peraturan tersebut. Dengan kata lain dia akan menjadi patuh terhadap berbagai peraturan yang ada. Orang menjadi patuh, karena :

1. Sejak kecil dia dididik untuk selalu mematuhi dan melaksanakan berbagai aturan yang berlaku, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat sekitar maupun yang berlaku secara nasional (Indoctrination).

2. Pada awalnya bisa saja seseorang patuh terhadap hukum karena adanya tekanan atau paksaan untuk melaksanakan berbagai aturan tersebut. Pelaksanaan aturan yang semula karena faktor paksaan lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan (habit), sehingga tanpa sadar dia melakukan perbuatan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Orang taat karena dia merasakan, bahwa peraturan yang ada tersebut dapat memberikan manfaat atau kegunaan bagi kehidupan diri dan lingkungannya (utiliy)

4. Kepatuhan atau ketaatan karena merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan

kelompok.

Masalah ketaatan dalam penegakan negarahukum dalam arti material mengandung makna :

1. Penegakkan hukum yang sesuai dengan ukuranukuran tentang hukum baik atau hukum yang buruk

2. Kepatuhan dari warga-warga masyarakat terhadap kaidah-kaidah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan-badan legislatif, eksekutif dan judikatif

3. Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hakhak asasi manusia

4. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi manusia dan penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia

5. Adanya badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badanbadan eksekutif.

D. KASUS KORUPSI DAN UPAYA PEMBERANTASANNYA DI INDONESIA

Korupsi bukan hanya terjadi di lingkungan pejabat eksekutif, tetapi terjadi juga di lembagalegislatif dan yudikatif. Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang sangat membahayakan karena dapat mengancam kelancaran pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara “melawan hukum” dari pengertian formil dam materil.

Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menutut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut pidana. Tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, maka meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap di pidana.

Pengertian korupsi menurut pasal 2 (1) Undang- Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi adalah:Setiap orang yang secara melawan hokum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan Negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Selain itu dalam Pasal 3 dinyatakan, bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan atau denda paling sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dalam skala nasional tindakan-tindakan yang dilakukan oleh berbagai profesi dapat dikatagorikan korupsi, seperti:

1. Menyuap hakim adalah korupsi.

Mengacu kepada kedua pengertian korupsi di atas, maka suatu perbuatan dikatagorikan korupsi apabila terdapat beberapa syarat, misalnya dalam pasal 6 ayat (1) huruf a UU no. 20 tahun 2001. Maka untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi harus memenuhi unsur-unsur :

a. Setiap orang,

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu,

c. Kepada hakim,

d. Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

2. Pegawai Negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan adalah korupsi.

Pasal 11 UU no. 20 tahun 2001 menyatakan, bahwa Untuk menyimpulkan apakah seorang Pegawai Negeri melakukan suatu perbuatan korupsi memenuhi unsur-unsur:

a. Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara,

b. Menerima hadiah atau janji,

c. Diketahuinya,

d. Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

3. Menyuap advokat adalah korupsi.

Mengacu kepada kedua pengertian korupsi di atas, maka suatu perbuatan dikatagorikan korupsi apabila terdapat beberapa syarat, misalnya dalam pasal 6 ayat (1) huruf a UU no. 20 tahun 2001 yang berasal dari pasal 210 ayat (1) KUHP yang dirujuk dalam pasal 1 ayat (1) huruf e UU no. 3 tahun 1971, dan pasal 6 UU no.31 tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi yang kemudian dirumuskan ulang pada UU no. 20 tahun 2001, maka untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi harus memenuhi unsur-unsur:

a. Setiap orang,

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu,

c. Kepada advokat yang menghadiri sidang pengadilan,


d. Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

SABRINA YULIAN (33)
8 F

Proses Pembuatan Undang-Undang

DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.

DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila ada 2 (dua) RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

[Image: dpr3fn5.jpg]


PROSES PEMBAHASAN RUU DARI PEMERINTAH DI DPR RI

RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang menyebut juga Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut.

Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, kemudian Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Terhadap RUU yang terkait dengan DPD disampaikan kepada Pimpinan DPD.

Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden.

[Image: dpr2hy8.jpg]


PROSES PEMBAHASAN RUU DARI DPD DI DPR RI

RUU beserta penjelasan/keterangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR, kemudian dalamRapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna.

Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna.

RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas RUU tersebut.

Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR,Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR.

[Image: dpr1lw7.jpg]

SALSABILA (34) - 8F

TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN NASIONAL

1. Konsep dan Hakekat Perundang-undangan Nasional
Soerjono Soekato, menyatakan, bahwa sejak dilahirkan manusia telah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok, yaitu :
1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya, yaitu masyarakat
2. Keinginan untuk menjadi satu tangan suasana alam sekelilingnya

Sejak dilahirkannya dan secara kodrat manusia selalu ingin menyatu dengan manusia lain dan lingkungan sekitarnya dalam dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat untuk saling berinteraksi dan memenuhi kebutuhan hidupnya satu sama lain.

Perundang-undangan hanya merupakan sebagian dari hukum-hukum ada yang bersifat tertulis dan tidak tertulis. Hukum tidak tertulis yang dilaksanakan dalam praktik penyelenggaraan negara dinamakan konvensi sedangkan hukum tidak tertulis dinamakan hukum adat.

Peraturan yang tertulis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Keputusan yang dikeluarkan oleh yang berwenang.
2. Isinya mengikat secara umum, tidak hanya mengikat orang tertentu, dan
3. Bersifat abstrak (mengatur yang belum terjadi)

Ferry Edwar dan Fockema Andreae menyatakan, bahwa perundang-undangan (legislation, wetgeving atau gezetgebung) mempunyai dua pengertian, pertama perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan perundang-undangan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.Kedua perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

ADISTY NURUL FAIDA (1)
8 F